DI BAWAH TELAPAK KAKI NENEK
Oleh : Lianty Putri
“Mak, nenek sampai kapan tinggal di
sini?”
“Sampai
dia mau pulang, Sar.”
Sari
memberengut mendengar jawaban ibunya. Sudah tiga bulan sejak neneknya datang ke
rumah mereka. Awalnya Sari merasa biasa saja, hari-hari berlalu ia pun mulai
jenuh. Neneknya yang bertubuh besar hingga sulit berjalan itu sering kali
meminta bantuan untuk mengambilkan segala sesuatu yang ia butuhkan. Selain sang
ibu, Sari pun jadi sasaran. Makan, minum, camilan, semua mesti diambilkan.
“Sar, tolong ambilkan remote tv.” Baru saja Sari mengambil sapu hendak membersihkan rumah,
terpaksa ia meletakkannya kembali demi mencari remote tv yang entah
terletak di mana itu.
“Tidak ada, Nek,”
ujar Sari sebal karena tak kunjung menemukan benda yang ia cari.
“Oh, ini ternyata. Di bawah bantal nenek.”
Mendengar jawaban sang nenek, lantas saja Sari semakin
jengkel. Sambil kembali mengambil sapu yang tadi ia letakkan, Sari membatin
jika neneknya hanya menjadi beban saja di rumah ini.
Kekesalannya bukan tak beralasan. Sari kenal betul sosok
neneknya itu, nenek bertubuh besar yang pelitnya minta ampun. Tujuh belas kali
hari raya, sekali pun tak pernah ia merasakan amplop dari sang nenek. Padahal
ia tahu kedua orang tuanya selalu memberikan uang saku bulanan pada nenek,
belum lagi uang saku dari pakde, bude, serta kerabat lainnya. Ia berpikir
kemana saja uang yang nenek terima selama ini?
Rasa tidak suka Sari pada sang nenek semakin menjadi kala
ia tahu bahwa untuk membeli obat pun sang anak yang harus mengeluarkan uang.
Sebenarnya semenjak sepeninggalan kakek, nenek tinggal satu atap dengan pakde dan bude. Pangan dan sandang semuanya pakde dan bude yang
tanggung. Kemudian tiga bulan yang lalu, suatu insiden terjadi di rumah itu.
Sari tidak tahu benar detailnya, yang ia tahu ialah tentang pertengkaran si
nenek dengan bude dan sepupunya.
Mungkin mereka juga jenuh dengan nenek, pikir Sari kala itu.
“Mak, roti yang
Sari taruh di meja makan tadi kemana ya?”
“Roti? Oh! tadi sudah dimakan sama nenek.”
Napas Sari menderu mendengar jawaban sang Ibu. Ia
merasakan darahnya naik ke kepala dan segera setelah itu, emosinya pun meledak.
“Kenapa Emak kasih ke nenek?!”
“Tadi siang nenek minta camilan. Hanya ada roti itu, jadi
emak beri saja. Kenapa marah sekali
begitu, Sar?” tanya sang Ibu merasa
bingung mendengar nada suara tinggi dari anaknya.
Sari diam tak menjawab pertanyaan sang Ibu. Ekspresi
kesal jelas terukir di wajahnya dan pada saat itu juga sang nenek menyahut dari
ruang tv, “Sari? Sudah belajar
membentak orang tua ya.”
Mendengar itu sontak Sari pun berteriak, “Jangan ikut
campur, Nek!” Ia langsung berlari
menuju kamar dan mengunci pintunya. Dalam hati Sari menyesali dirinya yang
telah berbicara kasar kepada sang Ibu. Pada dasarnya ia kesal pada si nenek,
tapi malah Ibunya yang jadi pelampiasan. Rasa berdosa pun memenuhi dirinya.
Langit sudah gelap namun Sari tak kunjung keluar dari
kamarnya sampai seseorang mengetuk pintu dan memanggilnya. Dengan wajah yang
masih murung, Sari pun membuka pintu dan melihat sang Ibu yang berdiri dengan
membawa dua bungkus roti di tangannya. Melihat itu tiba-tiba saja Sari
merasakan sesak di dadanya seperti hendak menangis. Dapat ia pastikan air
matanya akan menetes jika ia berbicara satu kata saja.
“Ini emak
belikan ganti roti yang tadi dimakan nenek. Maaf ya, emak gak tahu itu roti kamu,” ujar sang Ibu menyodorkan dua bungkus
roti tersebut.
“Emak ....”
Sang ibu kaget kala melihat anak gadisnya yang tiba-tiba menangis dan meraih
lengan bajunya. “Maafkan Sari,” lanjutnya sesenggukan.
Melihat itu, sang ibu memutuskan untuk mendorong anaknya
kembali masuk ke kamar agar suara isakannya tak terdengar oleh nenek. Ia waswas
jika nanti nenek menyahut lagi dan suasananya makin runyam.
“Kenapa, Sar?”
tanya sang Ibu setelah menutup pintu kamar anak gadisnya.
“Sebenarnya Sari kesal sama nenek, bukan sama Emak,” jelas Sari berusaha menahan
tangisnya. “Tapi Sari malah marah sama Emak.”
“Kenapa kamu kesal sama nenek? Memangnya nenek ada salah
apa?”
“....”
Sari diam, ia seperti tak berani menjawab pasalnya ia
tahu bahwa rasa kesalnya ini kekanak-kanakan. Tapi apa boleh buat, Sari harus
mengakui itu.
Ibu yang seperti sudah mengerti parasaan anaknya
mengangkat tangan dan menepuk punggung Sari. Berusaha memberikan ketenangan
pada anaknya yang terlihat gelisah.
“Sari ....”
“Nenek hanya menyusahkan saja, mak,” ujar sari memberanikan diri. “Setiap hari nenek hanya
menonton tv, semua-semua harus diambilkan. Apa Emak tidak capek?”
Ibu terdiam sesaat kala mendengar alasan tersebut, namun
tangannya masih tak berhenti menepuk-nepuk punggung Sari. Dengan tarikan napas
yang dalam, ia berkata, “Sari, itu nenek kamu sendiri lho ... kalau nanti emak
sudah tua, apa Sari akan kesal pada emak
juga?”
“Enggak lah mak ...” jawabnya kembali terisak. “Emak kan orang tua Sari.”
Senyuman tipis muncul di wajah sang ibu setelah mendengar
jawaban anaknya. Lalu ia kembali berkata, “Emak
juga punya orang tua, walau sekarang hanya tersisa nenek. Jadi emak berusaha menyenangkannya. Selagi
masih ada, Sar ....”
Sari termangu. Ia seolah disadarkan oleh ucapan sang Ibu.
Benar juga, biar bagaimanapun nenek adalah orang tua ibunya. Tentu sudah seharusnya
anak merawat orang tuanya, bukan malah merasa terbebani sepertinya saat ini.
Sari
lupa bahwa mungkin surganya ada di telapak kaki ibu, namun surga ibunya ada di
telapak kaki nenek.
Dihapusnya sisa air mata dengan pungung tangannya dan
menatap lurus ke arah sang ibu. Tatapan mata yang lembut itu membuat Sari
merasa lega.
“Maaf
ya, mak ... Sari akan berusaha untuk
lebih menghargai nenek. Sari gak mau jadi cucu durhaka,” ujar Sari membuat tawa
kecil sang ibu menggema di kamarnya.
Sekarang
hari-hari Sari terasa lebih menyenangkan. Ia jadi lebih sering mengobrol dan
menonton tv bersama neneknya. Kadang
juga ia meminta sang nenek untuk menceritakan kisah-kisah dan mitos zaman dulu
yang membuat Sari tertarik. Sari tak pernah lagi merasa kesal, ia berusaha
membantu ibunya merawat nenek dengan sepenuh hati. Dan yang paling ajaib adalah
nenek sering meminta tolong Sari untuk membelikannya camilan dengan uang nenek
sendiri untuk dimakan bersama saat menonton tv.
Kenyamanan di rumah ini membuat nenek jadi semakin tak ingin pulang ke rumah pakde, tapi Sari tak lagi memusingkan itu. Sari berpikir untuk menganggap nenek sebagai orang tuanya sendiri. Siapa tahu nanti ia kebagian surga yang ada di bawah telapak kaki nenek.
0 tanggapan:
Posting Komentar
Thank you for leaving a comment ^^