Selasa, 09 Agustus 2022

[CERPEN] Di Bawah Telapak Kaki Nenek

 


Cerpen Di Bawah Telapak Kaki Nenek adalah cerita pendek tulisanku yang pernah dimuat di media Harian Waspada pada tanggal 6 Juni 2021. Cerita lengkapnya dapat dibaca di bawah ini:

DI BAWAH TELAPAK KAKI NENEK

Oleh : Lianty Putri

Mak, nenek sampai kapan tinggal di sini?”

“Sampai dia mau pulang, Sar.”

Sari memberengut mendengar jawaban ibunya. Sudah tiga bulan sejak neneknya datang ke rumah mereka. Awalnya Sari merasa biasa saja, hari-hari berlalu ia pun mulai jenuh. Neneknya yang bertubuh besar hingga sulit berjalan itu sering kali meminta bantuan untuk mengambilkan segala sesuatu yang ia butuhkan. Selain sang ibu, Sari pun jadi sasaran. Makan, minum, camilan, semua mesti diambilkan.

            “Sar, tolong ambilkan remote tv.” Baru saja Sari mengambil sapu hendak membersihkan rumah, terpaksa ia meletakkannya kembali demi mencari remote tv yang entah terletak di mana itu.

            “Tidak ada, Nek,” ujar Sari sebal karena tak kunjung menemukan benda yang ia cari.

            “Oh, ini ternyata. Di bawah bantal nenek.”

            Mendengar jawaban sang nenek, lantas saja Sari semakin jengkel. Sambil kembali mengambil sapu yang tadi ia letakkan, Sari membatin jika neneknya hanya menjadi beban saja di rumah ini.

            Kekesalannya bukan tak beralasan. Sari kenal betul sosok neneknya itu, nenek bertubuh besar yang pelitnya minta ampun. Tujuh belas kali hari raya, sekali pun tak pernah ia merasakan amplop dari sang nenek. Padahal ia tahu kedua orang tuanya selalu memberikan uang saku bulanan pada nenek, belum lagi uang saku dari pakde, bude, serta kerabat lainnya. Ia berpikir kemana saja uang yang nenek terima selama ini?

            Rasa tidak suka Sari pada sang nenek semakin menjadi kala ia tahu bahwa untuk membeli obat pun sang anak yang harus mengeluarkan uang. Sebenarnya semenjak sepeninggalan kakek, nenek tinggal satu atap dengan pakde dan bude. Pangan dan sandang semuanya pakde dan bude yang tanggung. Kemudian tiga bulan yang lalu, suatu insiden terjadi di rumah itu. Sari tidak tahu benar detailnya, yang ia tahu ialah tentang pertengkaran si nenek dengan bude dan sepupunya. Mungkin mereka juga jenuh dengan nenek, pikir Sari kala itu.

            “Mak, roti yang Sari taruh di meja makan tadi kemana ya?”

            “Roti? Oh! tadi sudah dimakan sama nenek.”

            Napas Sari menderu mendengar jawaban sang Ibu. Ia merasakan darahnya naik ke kepala dan segera setelah itu, emosinya pun meledak. “Kenapa Emak kasih ke nenek?!”

            “Tadi siang nenek minta camilan. Hanya ada roti itu, jadi emak beri saja. Kenapa marah sekali begitu, Sar?” tanya sang Ibu merasa bingung mendengar nada suara tinggi dari anaknya.

            Sari diam tak menjawab pertanyaan sang Ibu. Ekspresi kesal jelas terukir di wajahnya dan pada saat itu juga sang nenek menyahut dari ruang tv, “Sari? Sudah belajar membentak orang tua ya.”

            Mendengar itu sontak Sari pun berteriak, “Jangan ikut campur, Nek!” Ia langsung berlari menuju kamar dan mengunci pintunya. Dalam hati Sari menyesali dirinya yang telah berbicara kasar kepada sang Ibu. Pada dasarnya ia kesal pada si nenek, tapi malah Ibunya yang jadi pelampiasan. Rasa berdosa pun memenuhi dirinya.

            Langit sudah gelap namun Sari tak kunjung keluar dari kamarnya sampai seseorang mengetuk pintu dan memanggilnya. Dengan wajah yang masih murung, Sari pun membuka pintu dan melihat sang Ibu yang berdiri dengan membawa dua bungkus roti di tangannya. Melihat itu tiba-tiba saja Sari merasakan sesak di dadanya seperti hendak menangis. Dapat ia pastikan air matanya akan menetes jika ia berbicara satu kata saja.

            “Ini emak belikan ganti roti yang tadi dimakan nenek. Maaf ya, emak gak tahu itu roti kamu,” ujar sang Ibu menyodorkan dua bungkus roti tersebut.

            “Emak ....” Sang ibu kaget kala melihat anak gadisnya yang tiba-tiba menangis dan meraih lengan bajunya. “Maafkan Sari,” lanjutnya sesenggukan.

            Melihat itu, sang ibu memutuskan untuk mendorong anaknya kembali masuk ke kamar agar suara isakannya tak terdengar oleh nenek. Ia waswas jika nanti nenek menyahut lagi dan suasananya makin runyam.

            “Kenapa, Sar?” tanya sang Ibu setelah menutup pintu kamar anak gadisnya.

            “Sebenarnya Sari kesal sama nenek, bukan sama Emak,” jelas Sari berusaha menahan tangisnya. “Tapi Sari malah marah sama Emak.”

            “Kenapa kamu kesal sama nenek? Memangnya nenek ada salah apa?”

            “....”

            Sari diam, ia seperti tak berani menjawab pasalnya ia tahu bahwa rasa kesalnya ini kekanak-kanakan. Tapi apa boleh buat, Sari harus mengakui itu.

            Ibu yang seperti sudah mengerti parasaan anaknya mengangkat tangan dan menepuk punggung Sari. Berusaha memberikan ketenangan pada anaknya yang terlihat gelisah.

            “Sari ....”

            “Nenek hanya menyusahkan saja, mak,” ujar sari memberanikan diri. “Setiap hari nenek hanya menonton tv, semua-semua harus diambilkan. Apa Emak tidak capek?”

            Ibu terdiam sesaat kala mendengar alasan tersebut, namun tangannya masih tak berhenti menepuk-nepuk punggung Sari. Dengan tarikan napas yang dalam, ia berkata, “Sari, itu nenek kamu sendiri lho ... kalau nanti emak sudah tua, apa Sari akan kesal pada emak juga?”

            “Enggak lah mak ...” jawabnya kembali terisak. “Emak kan orang tua Sari.”

            Senyuman tipis muncul di wajah sang ibu setelah mendengar jawaban anaknya. Lalu ia kembali berkata, “Emak juga punya orang tua, walau sekarang hanya tersisa nenek. Jadi emak berusaha menyenangkannya. Selagi masih ada, Sar ....”

            Sari termangu. Ia seolah disadarkan oleh ucapan sang Ibu. Benar juga, biar bagaimanapun nenek adalah orang tua ibunya. Tentu sudah seharusnya anak merawat orang tuanya, bukan malah merasa terbebani sepertinya saat ini.

Sari lupa bahwa mungkin surganya ada di telapak kaki ibu, namun surga ibunya ada di telapak kaki nenek.

            Dihapusnya sisa air mata dengan pungung tangannya dan menatap lurus ke arah sang ibu. Tatapan mata yang lembut itu membuat Sari merasa lega.

“Maaf ya, mak ... Sari akan berusaha untuk lebih menghargai nenek. Sari gak mau jadi cucu durhaka,” ujar Sari membuat tawa kecil sang ibu menggema di kamarnya.

Sekarang hari-hari Sari terasa lebih menyenangkan. Ia jadi lebih sering mengobrol dan menonton tv bersama neneknya. Kadang juga ia meminta sang nenek untuk menceritakan kisah-kisah dan mitos zaman dulu yang membuat Sari tertarik. Sari tak pernah lagi merasa kesal, ia berusaha membantu ibunya merawat nenek dengan sepenuh hati. Dan yang paling ajaib adalah nenek sering meminta tolong Sari untuk membelikannya camilan dengan uang nenek sendiri untuk dimakan bersama saat menonton tv.

Kenyamanan di rumah ini membuat nenek jadi semakin tak ingin pulang ke rumah pakde, tapi Sari tak lagi memusingkan itu. Sari berpikir untuk menganggap nenek sebagai orang tuanya sendiri. Siapa tahu nanti ia kebagian surga yang ada di bawah telapak kaki nenek. 

# link menuju epaper

0 tanggapan:

Posting Komentar

Thank you for leaving a comment ^^